Akan tetapi, pada paragraf terakhir pada cerpen yang berjudul Calon Suami ini menyatakan bahwa semua yang ada di cerita itu tidak pernah terjadi kepada Inne.
Penggunaan gaya bahasa di dalam suatu karya tulis atau tulisan menjadi hal yang sangat diperhatikan. Oleh karena itu, gaya bahasa menjadi unsur penting untuk dibicarakan, meskipun bukan hal yang paling utama. Setiap bentuk tulisan pasti menggunakan gaa bahsa dan gaya bahasa yang penulis gunakan tersebut akan memberi informasi kepada kita siapa penulisnya, hal itu akan dapat diketahui melalui gaya bahasa.
Keraf membatasi pengertian style atau gaya bahasa sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung unsur kejujuran, sopan santun, dan menarik (Keraf, 2007). Hal ini serupa dengan apa yang dikemukakan oleh Tarigan (Tarigan, 2000) gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Sedangkan menurut Imam Syafi’i “gaya penulisan yaitu cara penampilan diri penulis dalam mengarang sebagaimana terlihat dalam krangannya”. Keraf juga membedakan gaya bahasa berdasarkan langsung atau tidaknya makna ke dalam dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang maknanya harus diartikan menurut nilai lahirnya dan bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mengandung unsur kelangsungan makna. Sebaliknya, gaya bahasa kiasan adalah gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan makna kata yang membentuknya. Dari pemaparan menurut para ahli diatas dapat diketahui bahwa masalah penggunaan gaya bahasa sangat penting di dalam kegiatan menulis maupun kegiatan berbicara.
Di dalam cerpen yang berjudul Calon Suami ini, pada umumnya penulis (Asneli Luthan) menggunakan gaya bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca, yaitu bahasa Indonesia sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata dan kalimat yang merupakan bahasa keseharian yang sering digunakan dan didengar akrab atau tidak asing lagi di telinga kita. lihat kutipan berikut.
“Saudara, malapetaka ini bermulanya setelah saya menerima surat dari kampung. Isinya megancam. Kalau surat ini dikirim oleh ibu saya, atau bapak saya saja misalnya, tak jadi soal. Tapi celakanya, surat itu ditandatangani oleh semua keluarga. Kalau saya membangkang atas ancaman itu, berarti saya harus kehilangan mereka. Semua! Dituruti? Amboi!” (paragraf 4)
”Inne, kamu harus pulang setelah mendapat surat ini. Calon suamimu telah kami sediakan. Kalau kamu tidak pulang, buruk akibatnya. Dua adik perempuanmu yang tidak usah disebutkan namanya di sini, akan minggat dari rumah. Karena mereka ingin secepatnya kawin. Padahal mereka tak mau kawin kalau kamu belum kawin. Adik laki-lakimu tidak mau membantu uang dapur lagi, karena menurut mereka, giliranmu membantu untuk masa-masa selanjutnya. Kata mereka, hal tu akan bisa kamu lakukan kalau ada yang menjamin hidupmu. Penghasilanmu sendiri bisa membantu orang tua. Dan yang lebih penting, kalau kamu menolak lagi mayatmu kelak tidak akan dikunjungi keluarga. Camkan! Ini tidak main-main.” (paragraf 5)
”Pada surat-surat mereka yang lalu, saya masih berhasil meyakinkan, bahwa jodoh itu di tangan tuhan Tuhan. “Saya ingin kawin. Tapi nanti saja, kalau Tuhan mengirimkan seorang laki-laki yang benar-benar pantas untuk seorang perempuan seperti saya. Tenang saja Bu, anak Ibu seorang yang istimewa, jadi teman hidupnya juga harus istimewa. Menemukan yang istimewa zaman sekarang susah Bu” kata saya dalam surat agar dia tenang dan bangga” (paragraf 6)
Beberapa kutipan di atas menunjukan bahwa secara umum bahasa yang digunakan oleh penulis cerpen Calon Suami ini mudah dimengerti karena merupakan bahsa sehari-hari.
Secara umum bahasanya memang mudah dimengerti. Tetapi ada beberapa kata asing yang tidak dimengerti, seperti kata jawi, mamak, mangkel, amboi, sekonyong-konyong. Sehingga membutuhkan Kamus Bahasa Daerah dan juga Kamus Besar Bahasa Indonesia onlline untuk mencari arti dari kata-kata tersebut. Lihat kutipan berikut.
“Saya benar-benar bingung. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Mereka keterlaluan! Apa mereka pikir saya ini kerbau atau jawi! Diseret ke lapangan, diadu, diperah, dijual? Begitu?” (paragraf 1)
“Saya tak keberatan kalau saya mau. Apa salahnya kalau hal begitu memang enak dan menguntungkan. Masalahnya itulah, saya tidak mau. Hati saya menolak. Batin saya tidak sudi diajak kompromi. Tapi mereka: ibu, bapak, mamak, uda, adik, dan semua famili saya yang paling dekat, mereka itulah yang harus saya hadapi. Mereka darah daging saya. Di mana secuil daging, setetes darah, sehelai rambut, setitik keringat yang ada dalam tubuh saya asal muasalnya dari mereka”. (paragraf 2)
“Gundah gulana, merasa terpojok, mangkel, sedih, merana, dan ingin bertindak tapi tak tahu tindakan apa, itulah yang menggerogoti jantung, hati, dan otak saya saat itu” (paragraf 3)
“Saudara, malapetaka ini bermulanya setelah saya menerima surat dari kampung. Isinya megancam. Kalau surat ini dikirim oleh ibu saya, atau bapak saya saja misalnya, tak jadi soal. Tapi celakanya, surat itu ditandatangani oleh semua keluarga. Kalau saya membangkang atas ancaman itu, berarti saya harus kehilangan mereka. Semua! Dituruti? Amboi!” (paragraf 4)
“Sekonyong-konyong datang bayangan lain. Bagaimana kalau dia itu orang kaya? Punya perusahaan anu atau perkebunan besar. Diajak hidup layak, Atau siapa tahu, dia mau memperalat saya. Dari jauh dia sudah mempelajari kelemahan dan kekuatan saya, tinggal tancap saja nanti. ”Tuhan, tolonglah saya!”. (paragraf 16)
Selain bahasa Indonesia yang ada di dalam cerita, penulis (Asneli Luthan) juga menggunakan bahasa Daerah, yaitu bahasa Minangkabau untuk lebih menekankan isi cerita. Meskipun begitu, kosakata Minangkabau yang terdapat dalam cerita tidak terlalu mendominasi suatu kalimat, sehingga bagi pembaca yang tidak mengerti bahasa Minangkabau, tidak mengalami kesulitan dalam memahami jalannya cerita.
Di dalam cerpen Calon Suami terdapat gaya bahasa yang menarik dan unik, seperti gaya bahasa hiperbola, yaitu gaya bahasa yang berlebihan atau melebih-lebihkan suatu hal yang turut menghiasi isi cerita tersebut. Selain itu hal yang menarik lainnya, yaitu kata-kata asing di dalam cerpen Calon Suami ini, sehingga membuat pembaca merasa penasaran untuk mengetahui arti dari kata tersebut dan tertarik untuk membacanya. Secara keseluruhan bahasa yang digunakan di dalam cerpen Calon Suami karya Asneli Luthan menarik. Pembaca tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana nasib dan urutan kejadian yang menimpa tokoh Inne hingga akhir cerita. Lihat kutipan berikut
“Saudara, malapetaka ini bermulanya setelah saya menerima surat dari kampung. Isinya megancam. Kalau surat ini dikirim oleh ibu saya, atau bapak saya saja misalnya, tak jadi soal. Tapi celakanya, surat itu ditandatangani oleh semua keluarga. Kalau saya membangkang atas ancaman itu, berarti saya harus kehilangan mereka. Semua! Dituruti? Amboi!” (paragraf 4) Kutipan di atas berisi hal menarik, sehingga membuat penulis tertarik untuk mengetahui urutan kejadian dan nasib yang menimpa tokoh Inne. Lihat juga kutipan berikut ini.
”Iya, ibu bagaimana, sih?” (Dalam bahasa daerah tentunya)
"Ibu saya ke luar kamar sambil mengedipkan matanya sebelah. Besoknya saya disuruh ibu dan etek (tante) berdandan. Peralatannya sudah disediakan. Tinggal pakai”. (paragraf 18) Kutipan tersebut membuat pembaca semakin penasaran kepada calon suami pilihan keluarganya untuk Inne.
Cerita ini juga mengandung sugesti estetik berupa pengaruh nilai terhadap tokoh dalam cerpen. Pembaca akan ikut bersimpati pada tokoh Inne melalui bahasa yang digunakan mampu membuat pembaca ikut merasakan kegundahan, kebingungan, bahkan keterpaksaan tokoh Inne dalam cerita, khususnya pada awal penceritaan.
Bahasa di dalam cerpen ini komunikatif. Bahasa yang digunakan sangat mensugesti pembacanya untuk mengikuti apa keinginan narator yang disalurkan melalui bahasa mensugesti para pembaca atas apa yang terjadi pada Inne dan apa yang dirasakan oleh Inne setelah dipaksa pulang untuk dinikahkan dengan calon suami pilihan keluarganya. Pembaca merasakan bagaimana tersiksanya batin Inne pada saat mengetahui bahwa Inne akan dijodohkan oleh keluarganya dengan laki-laki yang tidak Inne kenal. Pembaca juga merasakan bagaimana gelisahnya Inne saat membayangkan suami yang sudah dipersiapkan oleh keluarganya. Pembaca juga merasakan kebahagiaan Inne pada saat mengetahui bahwa Inne dipertemukan dengan jodoh yang diidamkannya.
Lihat kutipan berikut ini.
“Gundah gulana, merasa terpojok, mangkel, sedih, merana, dan ingin bertindak tapi tak tahu tindakan apa, itulah yang menggerogoti jantung, hati, dan otak saya saat itu” (paragraf 3) Kutipan ini menunjukan bahwa tokoh Inne merasa kesal dan bimbang.
“Terima kasih, Bu. Terima kasih. Saya kira ibu tidak mengerti tentang saya selama ini, sehingga hubungan kita sering sendat. Rupanya tidak. Ibu mengerti dan memahami saya sedalam-dalamnya. Ibu tahu selera saya. Sampai kepada siapa yang pantas jadi suami saya. Terima kasih yang tak bertara. Pilihan keluarga, adalah idaman saya. Ideal sekali,” saya cium pipi ibu sebagai rasa terima kasih yang tulus. Sesuatu yang tak pernah saya lakukan kepada ibu atau anggota keluarga dekat lainnya. Tradisi kami tak membiasakannya.” (paragraf 25) Kutipan ini menunjukan suasana bahagia dan merasa cocok dengan suami pilihan keuarganya.
Akan tetapi, pada paragraf terakhir terdapat penegasan bahwa semua hal itu tidak pernah terjadi. Lihat kutipan berikut.
“Saudara sayang sekali. Semua ini tak pernah terjadi”. (kalimat terakhir) dari kutipan ini dapat kita ketahui bahwa semua hal yang berupa pengalaman-pengalaman tokoh Inne di dalam cerita ini tidak pernah terjadi, khususnya zaman sekarang ini dimana adat dan tradisi sudah mulai ditinggalkan.
B. Sudut Pandang
Sudut pandang atau pusat pengisahan merupakan tempat berada narator dalam menceritakan kisahnya. Setiap kalimat didalam karya sastra naratif merupakan perkataanyang diucapkan oleh seseorang (Atmazaki, 2005).
Sedangkan menurut Muhardi dan Hassanuddin (Murhadi dan Hasanuddin, 1992) sudut pandang adalah “suatu cara bagi pembaca untuk mendapatkan informasi-informasi fiksi, Teknik pengarang mengemukakan informasi dapat dibedakan menjadi teknik dia-an dan teknik aku-an. Teknik dia-an adalah pengarang menceritakan tokoh-tokoh ceritanya dengan anggapan bahwa tokoh tersebut merupakan orang ketiga dalam teknik berkomunikasi. Teknik aku-an adalah pengarang menempatkan dirinya sebagai orang pertama dalam berkomunikasi atau seolah-olah tokoh utama dalam cerita”.
Sehingga dapat diketahui dari pemaparan di atas, bahwa cerpen Calon Suami karya Asneli Luthan ini menggunakan teknik aku-an, atau biasa disebut dengan Menceritakan Diri Sendiri (MDS).
Hal di atas dapat dibuktikan dengan teknik penceritaan yang digunakan oleh penulis, karena pencerita di dalam cerpen ini memposisikan dirinya sebagai orang pertama, karena pencerita menggunkan kata ganti “saya” di dalam cerpen ini. Dalam sudut pandang orang pertama ini, tokoh “saya” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah maupun di dalam diri sendiri. Tokoh “saya” menjadi pusat penceritaan. Segala sesuatu yang di luar dari diri tokoh “saya” di dalam cerita ini hanya diceritakan jika berhubungan dengan dirinya. Hal itu terbukti pada beberapa kutipan paragraf di bawah ini. Lihat kutipan berikut ini.
“Saya benar-benar bingung. Tak tahu apa yang harus diperbuat. Mereka keterlaluan! Apa mereka pikir saya ini kerbau atau jawi! Diseret ke lapangan, diadu, diperah, dijual? Begitu?” (paragraf 1)
“Saya tak keberatan kalau saya mau. Apa salahnya kalau hal begitu memang enak dan menguntungkan. Masalahnya itulah, saya tidak mau. Hati saya menolak. Batin saya tidak sudi diajak kompromi. Tapi mereka: ibu, bapak, mamak, uda, adik, dan semua famili saya yang paling dekat, mereka itulah yang harus saya hadapi. Mereka darah daging saya. Di mana secuil daging, setetes darah, sehelai rambut, setitik keringat yang ada dalam tubuh saya asal muasalnya dari mereka”. (paragraf 2)
“Pada surat-surat mereka yang lalu, saya masih berhasil meyakinkan, bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. ”Saya ingin kawin. Tapi nanti saja, kalau Tuhan mengirimkan seorang laki-laki yang benar-benar pantas untuk seorang perempuan seperti saya. Tenang saja Bu, anak Ibu seorang yang istimewa, jadi teman hidupnya juga harus istimewa. Menemukan yang istimewa zaman sekarang ini susah, Bu,” kata saya dalam surat agar dia tenang dan bangga”. (paragraf 6)
“Dengan helaan nafas panjang, jantung nyat nyut, kondisi pisik dan batin yang runyam, saya pun berangkat. Begitu terganggunya keadaan saya, sampai tidak tahu dengan kendaraan apa saya pulang. Lewat tanah, udara, air, atau bawah bumi. Tak tahu. Habisnya, sepanjang jalan tidak henti-hentinya saya berdoa. Mudah-mudahan calon suami saya itu betul-betul ideal dan idaman saya”. (paragraf 14)
Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pencerita memposisikan dirinya sebagai orang pertama, karena sering ditemui kata “saya” di dalam cerpen Calon Suami karya Asneli Luthan ini. Ini berarti pencerita atau penulis (Asneli Luthan) Menceritakan Diri Sendiri (MDS).
Di lihat dari alur ceritanya, posisi pencerita di dalam cerpen ini lebih baik seperti ini, yang menceritakan diri sendiri, karena dengan sudut pandang pencerita sebagai orang pertama yang menceritakan dirinya sendiri cerpen ini menjadi menarik minat para pembaca untuk mengetahui cerita di dalam cerpen ini hingga akhir cerita, dibandingkan dengan bercerita dengan sudut pandang lain. Mungkin, jika pencerita mengganti sudut pandang cerpen ini dengan sudut pandang lain, susunan cerita dan urutan kejadiannya tidak akan semenarik di dalam cerpen Calon Suami karya Asneli Luthan ini.
Arti kata “tokoh” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemegang peran (peran utama) di dalam roman atau drama. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga dijelaskan tentang beberapa jenis tokoh yaitu sebagai berikut.
- Tokoh Bulat. Tokoh bulat adalah tokoh di dalam karya susastra yang diperikan segi-segi wataknya sehingga dapat dibedakan dari tokoh yang lain.
- Tokoh Datar. Tokoh datar adalah tokoh dalam susastra yang hanya diungkapkan satu segi wataknya, tidak dikembangkan secara maksimal, dan apa yang dilakukan atau dikatakan tidak menimbulkan kejutan pada pembacanya.
- Tokoh Pipih. Tokoh pipih sama saja dengan tokoh datar.
- Tokoh Utama. Tokoh utama adalah peran utama dalam cerita rekaan atau drama.
Sedangkan kata “penokohan” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses, cara, perbuatan menokohkan, dan penciptaan citra tokoh dalam karya susastra.
“Pada umumnya jika kita membaca cerita-cerita pendek atau roman, timbullah dalam pikiran kita bayangan dari rupa, wajah, bentuk dan sifat-sifat (watak pribadi) pelaku-pelaku dalam cerita-cerita itu, sifat-sifat pelaku itu ada dua macam: 1) Sifat-sifat lahir (rupa, bentuk) 2) Sifat-sifat dalam (watak, kepribadian)”. (Lubis, 1996).
Di dalam cerpen Calon Suami karya Asneli Luthan terdapat tokoh-tokoh yang dapat teridentifikasi dan juga tidak dapat teridentifikasi. Pemaparannya akan dibahas satu persatu tokoh yang berperan dari mulai sifat lahir, sifat dalamnya dan juga interaksi sosial antar tokoh di dalam cerpen tersebut, sebagai berikut.
Tokoh saya dapat diidentifikasi secara fisik, tetapi tidak dijelaskan ciri-ciri fisiknya secara mendetail, hanya disinggung beberapa hal. yaitu tokoh saya merupakan perempuan bernama Inne, masih muda, masih kuat, cukup umur untuk menikah, dan tidak cantik. Berdasarkan cerpen Inne memeliki wajah yang cantik. Tetapi, di dalam surat yang dikirim oleh Ibunya mengatakan bahwa Inne tidak cantik. Umur tidak dijelaskan di dalam cerita, namun jika dikaitkan dengan kejadian di dalam cerita, mungkin Inne berumur sekitar 25-30 tahun.
Di dalam cerita dijelaskan bahwa Inne memiliki sifat atau watak yang sombong, keras kepala, cerdik dalam menutupi kekurangannya, dan pekerja keras. Hal ini termasuk kedalam sifat dalam dari tokoh tersebut atau juga biasa disebut dengan psikis, khususnya psikis tokoh Inne. Semua hal diatas dapat dibuktikan melalui kutipan-kutipan, sebagai berikut.
“Alah, kamu hanya menutupi kelemahanmu saja. Katakan, kamu tidak mampu menarik hati laki-laki. Karena kamu keras kepala dan sombong. Mending wajahmu cantik!” (paragraf 10) Kutipan ini menunjukan fisik dan psikis Inne. Tetapi, hal itu dikatakan pada saat Sang Ibu marah dan kesal terhadap Inne.
Lihat juga kutipan berikut “Setelah kenduri selesai, kami (saya dan suami) bersiap-siap berangkat. Tak bisa terlalu lama, perkerjaan saya menunggu”. (paragraf 23) Kutipan ini menunjukan bahwa tokoh Inne memiliki sifat pekerja keras.
Tokoh Inne merupakan pusat penceritaan narator yaitu sebagai tokoh utama. Di dalam interaksi antar tokoh, tokoh Inne berhubungan komunikasi hamper ke seluruh tokoh yang berada di dalam cerita. Tetapi, tidak semua tokoh, hanya dengan tokoh Ibu, Etek, dan Suami saja. Pembuktian terdapat pada kutipan-kutipan berikut.
“Tak usah khawatir atau malu, Bu. Bnyak perempuan yang tidak kawin. Misalnya Henriette Ronald Holst, Florence Nightingale, Jean d’arc, dan banyak lagi yang lain. Mereka itu dicatat sejarah dunia Bu. Perempuan-perempuan hebat!” (paragraf 7) Kutipan ini berisi tentang interaksi antara Inne dan Ibunya secara tidak langsung, yaitu melalui surat menyurat.
“Singkat cerita, akhirnya saya sampai di rumah. Nampaknya penyambutan saya benar-benar dirancang sedemikian rupa. Rumah begitu ramai oleh sanak famili. Mereka sangat senang dan bergembira. Setelah selesai basa-basi, saya tak sabar ingin menanyakan,bahkan sudah kebelet ingin bertemu Sang Calon.
“Kelihatannya mereka sengaja mengulur-ulur waktu, menunggu agar saya penasaran. Ketika ke kamar mau ganti pakaian, saya beri kode Ibu saya agar masuk kamar pula. Tanpa sopan santun lagi, saya serang ibu saya. Saya tagih janjinya” (paragraf 15-16)
“ ‘Kamu harus berhias secantik-cantiknya. Gaunmu harus benar-benar serasi,’ kata etek saya sambil membantu memoles wajah saya.” (paragraf 18) Kutipan ini berisi tentang interaksi tokoh Inne dengan eteknya (tante) dilakukan dengan cara komunikasi langsung, tandpa ada perantara.
Kutipan-kutipan di atas menunjukan interaksi sosial yag dilakukan Inne terhadap tokoh lain di dalam cerpen. Hal tersebut mendukung bahwa Inne menjadi pusat penceritaan oleh pencerita (Asneli Luthan), karena interaksi anatar tokoh yang ini lakukan sangat menyeluruh hampir ke semua tokoh yang ada di dalam cerpen tersebut.
Tokoh ini hanya berperan sebagi tokoh penunjang, yaitu penunjang untuk kelangsungan cerita. Secara fisik tokoh ini (Ibu) tidak dapat teridentifikasi, karena ciri fisik tokoh ini tidak dijelaskan secara tersirat maupun secara tersurat. Sehingga ciri fisik tokoh Ibu tidak dapat dipastikan dengan jelas.
Tokoh Ibu Inne ini memiliki ciri psikis. Ibu Inne ini adalah seorang wanita yang memiliki sifat peduli, penyayang, dan perhatian kepada anaknya (Inne). Namun menjadi terlihat kasar setelah menerima surat balasan dari Inne yang ungkin membuatnya jengkel dan kesal kepada anaknya tersebut (Inne). Lihat kutiipan-kutipan berikut.
”Kamu kan bilang suamimu harus istimewa. Kami penuhi kehendakmu. Dia istimewa. Jangan banyak tanya lagi, pulang saja. Kebutuhan kenduri sudah kami sediakan ala kadarnya.” (paragraf 13) Kutipan ini menunjukan rasa perhatian dan kepedulian dari Ibunya terhadap Inne anaknya.
“Terima kasih, Bu. Terima kasih. Saya kira ibu tidak mengerti tentang saya selama ini, sehingga hubungan kita sering sendat. Rupanya tidak. Ibu mengerti dan memahami saya sedalam-dalamnya. Ibu tahu selera saya. Sampai kepada siapa yang pantas jadi suami saya. Terima kasih yang tak bertara. Pilihan keluarga, adalah idaman saya. Ideal sekali,” saya cium pipi ibu sebagai rasa terima kasih yang tulus. Sesuatu yang tak pernah saya lakukan kepada ibu atau anggota keluarga dekat lainnya. Tradisi kami tak membiasakannya”. (paragraf 27)
Kutipan di atas menunjukan gambaran bahwa tokoh ibu Inne sangat menyayangi Inne (anaknya), karena ia benar-benar tahu apa yang ada dalam pikiran Inne. Sehingga ia berusaha dengan dengan sebaik mungkin untuk membantu memenuhi keinginan Inne tersebut, termasuk mencari jodoh sesuai yang diidamkan Inne. Lihat juga kutipan di bawah ini.
“Saya tidak tahu, akhir-akhir ini ibu saya lain sekali. Surat-suratnya keras dan kasar. Tak mau lagi memanggil saya dengan Nak, atau kata-kata lembut lainnya. Nampaknya sebel betul!” (paragraf 11) Kutipan ini menunjukan bahwa Ibu Inne merasa kesal kepada Inne.
Tokoh Ibu merupakan tokoh pendukung dalam cerita ini. Tokoh Ibu perannya tidak banyak di dalam cerpen ini. Di dalam cerita ini Ibu hanya berhubungan dengan Inne saja. Hal itu terlihat baik melalui surat-menyurat atau pun komunikasi langsung. Hal ini menunjukan bahwa interaksi yang dilakukan tokoh Ibu di dalam cerpen ini hanya sebatas berkomunikasi dengan pemeran utama yaitu Inne saja, tidak dengan tokoh-tokoh penunjang yang lainnya. Lihat kutipan berikut.
“Tapi balasan Ibu saya jauh diluar keinginan dan harapan saya.‘Alah, kamu hanya menutupi kelemahanmu saja. Katakan, kamu tidak mampu menarik hati laki-laki. Karena kamu keras kepala dan sombong. Mending wajahmu cantik!’ ” (paragraf 10) Kutipan ini menunjukan komunikasi melalui surat yang dilakukan oleh Inne dan Ibunya.
‘Iya, Ibu bagaimana sih?’
Sialan! Ibu saya keluar kamar sambil mengedipkan matanya
sebelah.” (percakapan Ibu dan Inne yang berada pada paragraf 16) Kutipan ini menunjukan komunikasi secara langsung dalam interaksi antar tokoh yang dilakukan oleh Inne dan Ibunya.
Tokoh Etek di dalam cerpen Calon Suami ini hanya sebagai tokoh penunjang untuk berlangsungnya jalan cerita. Secara fisik tokoh Etek di dalam cerita ini tidak dapat teridentifikasi, karena ciri fisik tidak dijelaskan atau dipaparkan di dalam cerita melalui tersurat maupun tersirat.
Ciri psikis tokoh Etek ini tidak dijelaskan secara tersurat. Tetapi, psikis tokoh Etek ini dijelaskan secara tersirat oleh penulis (Asneli Luthan). di dalam cerita tampak bahwa Tante bersikap sedikit berlebihan (lebay). Hal ini tergambar di dalam kutipan di bawah ini.
”Kamu harus berhias secantik-cantiknya. Gaunmu harus benar-benar serasi,” kata etek saya sambil membantu memoles wajah saya.
”Kayak apaan, sih tek, orangnya?” usut saya sedikit demi sedikit.
”Pokoknya kamu bisa pingsan kalau tak kuat menahan diri,” kata etek saya.
”Pokoknya kamu takkan percaya.” (paragraf 20)
Kutipan di atas menunjukan bahwa sikap Etek agak sedikit berlebihan dalam menanggapi pertanyaan dari Inne.
Dari dalam cerpen Calon Suami ini, dapat diketahui bahwa tokoh Etek hanya berperan sebagai peran pendukung, yaitu yang menunjang jalan cerita pada cerpen ini. Interaksi sosial yang dilakukan oleh tokoh Etek di dalam cerpen ini hanya kepada Inne saja, tidak dengan tokoh-tokoh yang lain. Lihat kutipan di bawah ini.
”Kamu harus berhias secantik-cantiknya. Gaunmu harus benar-benar serasi,” kata etek saya sambil membantu memoles wajah saya.
”Kayak apaan, sih tek, orangnya?” usut saya sedikit demi sedikit.
”Pokoknya kamu bisa pingsan kalau tak kuat menahan diri,” kata etek saya.
”Pokoknya kamu takkan percaya.” (paragraf 20) Kutipan ini menjelaskan bahwa tokoh Etek sedang berinteraksi dengan toko Inne dengan cara komunikasi langsung.
Secara fisik tokoh calon suami tidak dijelaskan secara mendetail. Di dalam cerpen, tersirat bahwa Suami Inneberbadan lebih tinggi dari Inne, tampan dan ideal, sesuai dengan apa yang Inne harapkan. Lihat kutipan berikut.
“Saya angkat kepala pelan-pelan. Oh, tidak sanggup! Tunduk lagi. Si calon masih tetap diam di tempat dan tak bersuara. Saya angkat wajah saya sekali lagi. Berhasil. Saya tatap dia. Lembut saja. Dia memberikan senyum. Sedikit. Dia ulurkan tangannya. Saya terima dan saya menyebut nama saya. Saya tetap nyat-nyut. Tapi dia tak menyebut namanya.” (paragraf 23) Kutipan ini menunjukan bahwa Suami Inne berbadan tinggi.
“Pilihan keluarga, adalah idaman saya. Ideal sekali,” saya cium pipi ibu sebagai rasa terima kasih yang tulus. Sesuatu yang tak pernah saya lakukan kepada ibu atau anggota keluarga dekat lainnya. Tradisi kami tak membiasakannya”. (paragraf 27) Kutipan ini menunjukan bahwa Suami yang dipilihkan keluargany untuk Inne adalah idaman Inne yang ideal.
Ciri psikis tokoh Suami tidak dijelaskan secara tersurat di dalam teks cerpen ini. Tetapi secara tersirat terlihat bahwa tokoh ini bersifat ramah dan baik hati. Lihat kutipan berikut.
“Saya tatap dia. Lembut saja. Dia memberikan senyum. Sedikit. Dia ulurkan tangannya. Saya terima dan saya menyebut nama saya. Saya tetap nyat-nyut. Tapi dia tak menyebut namanya.” (paragraf 23).
Tokoh Suami / Calon Suami ini hanya sebagai tokoh pendukung yang sangat berpengaruh pada jalan cerita cerpen ini. Tokoh ini hanya berinteraksi dengan tokoh utama pada cerpen ini yaitu hanya berinteraksi dengan Inne, tidak dengan tokoh-tokoh yang lain. Lihat kutipan di bawah ini.
”Nama Anda?” tanya saya penuh perasaan. Dia tersenyum.
”Nama Anda?” ulang saya. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, lalu mengeluarkan secarik kertas.
Di situ tertulis . . . . segala macam.
Nama, alamat, umur, pekerjaan, suku, hobby, agama, bintang film kesayangan, hal-hal yang tidak disukai, makanan favorit, dan nama serta asal-usul orang tua.” (paragraf 22) Kutipan tersebut menunjukan bahwa sang Suami berinteraksi dengan tokoh utama tanpa berbicara.
Ada beberapa tokoh yang tidak dapat teridentifikasi, karena tokoh-tokoh tersebut hanya disebutkan oleh penulis di dalam teks cerpennya dan tidak ada penjelasan mengenai hal fisik, psikis, maupun interaksi sosial antar tokoh. Tokoh –tokoh tersebut adalah keluarga Inne sendiri, yaitu bapak, mamak, uda, adik, dan semua famili
“Tapi mereka: ibu, bapak, mamak, uda, adik, dan semua famili saya yang paling dekat, mereka itulah yang harus saya hadapi. Mereka darah daging saya. Di mana secuil daging, setetes darah, sehelai rambut, setitik keringat yang ada dalam tubuh saya asal muasalnya dari mereka.” (paragraf 2)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa ada beberapa tokoh yang tidak dapat teridentifikasi fisik dan psikisnya, dan tidak ada interaksi sosial atau interaksi antar tokoh antara tokoh-tokoh ini di dalam cerita.
Di dalam hubungan interaksi antar tokoh, tokoh Inne sebagai tokoh utama di dalam cerpen tersebut, tokoh Inne berhubungan dengan seluruh tokoh cerita. Tokoh Inne menjadi pusat penceritaan narator karena di dalam cerpen tersebut tokoh Inne sangat banyak menyita perhatian, dimana di dalam cerita peran tokoh Inne lebih menonjol atau lebih banyak berinteraksi dari pada tokoh lain. Tokoh ibu, Etek, Calon Suami adalah tokoh-tokoh yang mendampingi tokoh utama.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata “latar” adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan di dalam karya sastra. Kamus Besar Bahasa Indonesia juga menyatakan bahwa arti lain dari kata “latar” adalah keadaan atau situasi (yang menyertai ujaran atau percakapan).
Muhardi dan Hasanuddin (1992:30) mengemukakan bahwa “Latar merupakan penanda identitas permasalahan fiksi yang mulai secara samar diperlihatkan alur atau penokohan. Jika permasalahan fiksi sudah diketahui melalui alur atau penokohan, maka latar memperjelas suasana, tempat, dan waktu peristiwa itu berlaku”. Sehingga latar tempat, waktu dan suasana dalam cerpen ini dapat memebantu tercuatnya masalah fiksi. Latar suasana, tempat, dan waktu pada cerpen ini akan dijelaskan sebagai berikut.
Latar tempat yang digunakan di dalam cerpen ini adalah kota atau daerah rantau, kampung (rumah), kamar, dan pintu kamar. Latar tempat tersebut sangat mendukung jalannya cerita dan sesuai dengan logika cerita, karena latar tempat di atas memiliki makna-makna yang berhubungan dengan jalan cerita. Akan tetapi, latar tempat di dalam cerpen tidak terlalu jelas dalam menyiratkan hal-hal yang berkaitan dengan kenduri atau proses pernikahan tokoh utama (Inne). Dari keempat latar tempat tersebut, bisa dihubungkan dengan alur cerita, yaitu sebagai berikut.
a. Kota atau Daerah Rantau
Kota atau daerah rantau menyiratkan perjuangan, jauh dari kampung yang mungkin bisa membuat penulis berpikir bahwa di Kota sulit untuk mendapatkan jodoh karena riuhnya kota yang dipadati oleh orang-orang dari berbagai macam kalangan, latar belakang, dan sifat setiap orang yang berbeda.
Kampung halaman (rumah) menyiratkan keluarga, lebih cenderung kepada kebahagian, dan biasanya proses pernikahan atau pesta pernikahan dilakukan di rumah.
Kamar menyiratkan privasi atau milik pribadi yang tidak boleh sembarang orang memasukinya, dan kamar juga sangat berkaitan dengan pengantin baru.
Pintu kamar menyiratkan gerbang menuju kebahagian untuk menjalankan kehidupan setelah menikah, dan gerbang untuk mengenal satu sama lain lebih dalam, karena kamar merupakan privasi yang biasanya berisi benda atau semua hal yang berkaitan dengan privasi seseorang.
Latar tempat tersebut sesuai dengan logika cerita yang mengemukakan persoalan mencari calon suami, sehingga sering terjadi perselisihan antara Inne dan Ibunya, sampai akhirnya mendapatkan suami idaman yang sesuai harapan Inne. Lihat kuipan berikut.
”Inne, kamu harus pulang setelah mendapat surat ini. Calon suamimu telah kami sediakan. Kalau kamu tidak pulang, buruk akibatnya. Dua adik perempuanmu yang tidak usah disebutkan namanya di sini, akan minggat dari rumah. Karena mereka ingin secepatnya kawin. Padahal mereka tak mau kawin kalau kamu belum kawin.Adik laki-lakimu tidak mau membantu uang dapur lagi, karena menurut mereka, giliranmu membantu untuk masa-masa selanjutnya. Kata mereka, hal tu akan bisa kamu lakukan kalau ada yangmenjamin hidupmu. Penghasilanmu sendiri bisa membantu orang tua. dan yang lebih penting, kalau kamu menolak lagi mayatmu kelak tidak akan dikunjungi keluarga. Camkan! Ini tidak main-main.” (paragraf 5) Kutipan ini menunjukan bahwa Inne sedang berada di tempat rantau.
“Singkat cerita, akhirnya saya sampai di rumah. Nampaknya penyambutan saya benar-benar dirancang sedemikian rupa. Rumah begitu ramai oleh sanak famili. Mereka sangat senang dan bergembira. Setelah selesai basa-basi, saya tak sabar ingin menanyakan, bahkan sudah kebelet ingin ketemu Sang calon.” (paragraf 16) Kutipan ini menunjukan bahwa Inne berada di rumah.
“Kelihatannya mereka sengaja mengulur-ulur, menunggu agar saya penasaran. Ketika ke kamar mau ganti pakaian, saya beri kode ibu saya agar masuk kamar pula. Tanpa sopan santun lagi, saya serang ibu saya. Saya tagih janjinya.” (paragraf 17) Kutipan ini menunjukan bahwa Inne berada di dalam kamar.
Latar waktu tidak dapat dipastikan. Tidak dijelaskan di dalam cerita ini. Tetapi, di dalam cerpen terdapat komunikasi antar tokoh dengan cara surat menyurat. Dapat diketahui, bahwa cerpen ini membahas kejadian sebelum tahun 2000-an, dimana belum ada teknologi pesan elektronik.
Latar suasana yang terdapat pada cerpen ini adalah suasana tegang, resah, bimbang dan perasaan terpaksa dari tokoh Inne. Namun, akhirnya suasana menjadi bahagia, karena tokoh Inne mendapatkan suami yang sesuai harapannya. Lihat kutipan berikut.
“Gundah gulana, merasa terpojok, mangkel, sedih, merana, dan ingin bertindak tapi tak tahu tindakan apa, itulah yang menggerogoti jantung, hati, dan otak saya saat itu.
Saudara, malapetaka ini bermulanya setelah saya menerima surat dari kampung. Isinya megancam. Kalau surat ini dikirim oleh ibu saya, atau bapak saya saja misalnya, tak jadi soal. Tapi celakanya, surat itu ditandatangani oleh semua keluarga. Kalau saya membangkang atas ancaman itu, berarti saya harus kehilangan mereka. Semua! Dituruti? Amboi!” (paragraf 3-4) Kutipan tersebut menjelaskan bahwa suasana cerita sedang tegang, dengan persaan tokoh Inne yang resah, dan bimbang. Lihat juga kutipan berikut.
“Sebelum berangkat, dengan pakaian kebaya dan dandanan seorang pengantin baru, berganti-ganti saya peluk ibu saya, bapak, etek, dan semua famili. Yang tentunya telah bersusah payah mencarikan suami buat saya. Ucapan syukur dan terima kasih. Betapa mereka telah menolong saya ke luar dari masalah pelik yang sekian tahun tak berhasil saya selesaikan.” (paragraf 26) Kutipan tersebut menunjukan bahwa suasana saat itu sedang bahagia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari kata “alur” adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu (pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan temporal atau waktu dan oleh hubungan kausal atau sebab-akibat). Sedangkan arti kata “alur cerita” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah jalinan peristiwa dalam cerita untuk memperoleh efek tertentu.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa alur cerita merupakan urutan peristiwa cerita yang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain yang didihunakan untuk memperoleh efek tertentu di dalam cerita.
Cerpen Calon Suami memilki jalan cerita dengan alur yang mengisahkan jalan kehidupan Inne dan perjalanan hidupnya dalam mencari pasangan yang cocok bagi dirinya. Dari awal, ketika Inne berada di daerah tempat ia bekerja, kemudian diminta untuk kembali ke kampung halamannya karena ia telah dicarikan calon suami oleh keluarganya di kampung. Dan terakhir, ia kembali ke daerah tempat ia bekerja setelah menerima dan menikah dengan calon yang dipilihkan oleh keluarganya itu. Lihatlah simpulan narasi cerpen Calon Suami berikut ini.
Peristiwa pada cerpen ini dimulai dari merantaunya Inne ke suatu daerah. Lalu, Ibu Inne mengirim surat menanyakan tentang jodoh Inne. Cerita ini tidak menggukan teknik yang sistematis. Penceritaan dimulai dari pertengahan, lalu kembali ke awal cerita, dan berakhir diakhir cerita.
Di awali dari merantaunya Inne ke luar kampung halamannya dan Inne mendapatkan pekerjaan, di sana Inne kesulitan mencari calon suami yang cocok karena sifat ini yang sombong dan keras kepala sehingga Inne kurang bisa menarik hati laki-laki. Lalu, karena merasa khawatir dan malu Ibunya pun mengirim surat yang menanyakan tentang calon suami Inne. Tetapi, saat itu Inne belum berhasil mendapatkan calon suami untuk dirinya. Inne mencoba mengelak dengan beralasan bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Dengan alasan seperti itu Inne berhasil meyakinkan Ibunya bahwa dia masih bisa mencari sendiri calon suami yang diidamkannya. Pada surat berikutnya pun Inne masih bisa mengelak dan menutupi kelemahannya dalam menarik hati laki-laki. Lalu, karena Ibunya khawatir tidak bisa mendapatkan Calon Suami yang Inne inginkan, pada surat terakhir, Ibu dari Inne menyuruh Inne kembali ke kampung karena sudah ada calon suami yang dipilihkan oleh keluarganya. Isi surat tersebut mengancam Inne dan memaksa Inne untuk pulang ke kampung halamannya. Inne bimbang, resah atas pilihan keluarganya. Tetapi, karena isi surat yang mengancam, maka Inne pun terpaksa kembali ke kampungnya. Di kampungnya Inne disambut dengan meriah. Sampai akhirnya, Inne dan Calon suami yang dipilihkan keluarganya dipertemukan. Inne terkejut karena Calon Suami pilihan keluarganya sama seperti apa yang diidamkan oleh Inne.
Inne pun bahagia dan sangat berterimakasih kepada keluarganya yang telah memlihkan Calon Suami yang diidamkannya yaitu sesuai tipe yang diinginkan oleh Inne. Tetapi sayang sekali, semua itu tidak pernah terjadi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia tema adalah pokok pikiran, dasar cerita (yang dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak, dan sebagainya). Sedangkan menurut Muhardi dan Hasanuddin (1992:38) “Tema adalah inti persoalan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya”.
Di dalam cerpen ini teridentifikasi beberapa konflik yang bermunculan. Tokoh Inne yaitu sebagai tokoh utama memiliki konflik dengan dirinya sendiri (Internal) Konflik internal itu adalah kebimbangan dan keresahan Inne karena belum bisa menarik hati laki-laki dan belum bisa menemukan calon suami yang diidamkannya, sedangkan keluarganya sudah mendesak Inne untuk segera menikah. Lihatlah kutipan berikut.
“Gundah gulana, merasa terpojok, mangkel, sedih, merana, dan ingin bertindak tapi tak tahu tindakan apa, itulah yang menggerogoti jantung, hati, dan otak saya saat itu.” (paragraf 3) Kutipan tersebut menunjukan bahwa di dalam cerita tersebut terjadi konflik internal yang menimpa tokoh utama (Inne).
Tokoh memiliki konflik internal lain, yaitu dengan kebimbangan atas apa yang diminta keluarganya kepada Inne. Konflik internal yang terjadi ketika keluarga Inne menyuruh Inne pulang ke kampungnya karena sudah dipilihkan calon suami untuk Inne oleh keluarganya, tetapi Inne sempat merasa bimbang. Konflik Internal lainnya adalah ketidakpercayaan Inne terhadap calon suami pilihan keluarganya sendiri. Lihat kutipan berikut.
”Inne, kamu harus pulang setelah mendapat surat ini. Calon suamimu telah kami sediakan. Kalau kamu tidak pulang, buruk akibatnya. Dua adik perempuanmu yang tidak usah disebutkan namanya di sini, akan minggat dari rumah. Karena mereka ingin secepatnya kawin. Padahal mereka tak mau kawin kalau kamu belum kawin. Adik laki-lakimu tidak mau membantu uang dapur lagi, karena menurut mereka, giliranmu membantu untuk masa-masa selanjutnya. Kata mereka, hal tu akan bisa kamu lakukan kalau ada yang menjamin hidupmu. Penghasilanmu sendiri bisa membantu orang tua. Dan yang lebih penting, kalau kamu menolak lagi mayatmu kelak tidak akan dikunjungi keluarga. Camkan! Ini tidak main-main.” (paragraf 5) Kutipan tersebut menjelaskan bahwa ada ancaman yang dituliskan pada surat itu terhadap Inne.
“Sekonyong-konyong datang bayangan lain. Bagaimana kalau dia itu orang kaya? Punya perusahaan anu atau perkebunan besar. Diajak hidup layak, Atau siapa tahu, dia mau memperalat saya. Dari jauh dia sudah mempelajari kelemahan dan kekuatan saya, tinggal tancap saja nanti. ”Tuhan, tolonglah saya!” (paragraf 15) Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Inne meragukan calon suami pilihan keluarganya, dan menjelaskan tentang ketidakpercayaan Inne terhadap pilihan keluarganya.
Dari konflik-konflik tersebut teridentifikasi bahwa tema cerpen atas konflik-konflik yang terjadi pada tokoh utama itu mengarah kepada “Perjodohan yang menyiratkan bahwa jodoh di tangan Tuhan”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti dari kata “amanat” adalah gagasan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca atau pendengar. Menurut Mursal Esten (1993:22) amanat merupakan pemecahan suatu tema. Di dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit (berterang-terangan) dan dapat juga secara implisit (tersirat). Bahkan ada amanat yang tidak nampak sama sekali. Umumnya cipta sastra modern memiliki amanat secara implisit.
Setelah membaca cerpen (Calon Suami karya Asneli Luthan) pembaca mendapatkan efek pesan yang bernilai baik bagi pembaca itu sendiri. Cerpen ini mengandung nilai-nilai yang sublime, dan mengandung beberapa amanat yang baik.
Pesan yang terkandung di dalam cerpen ini adalah yakinlah bahwa Tuhan pasti akan memberikan sesuatu yang terbaik bagi setiap hambanya. Hal itu menyiratkan bahwa Tuhan itu Maha Pengasih Penyayang kepada setiap hambanya. Dari pesan diatas, jika dikaitkan dengan alur cerpen, maka dapat disimpulkan bahwa jodoh itu di tangan Tuhan dan Tuhan pasti akan memberikan jodoh yang terbaik bagi setiap hambanya. Maka kita harus meyakini itu. Pesan kedua yang terkandung adalah berusahalah untuk tidak bersikap sombong dan keras kepala, karena orang-orang di sekitar tidak suka akan kesombongan kita. Pesan ketiga, yaitu janganlah menyepelekan pilihan kedua orang tua kita, maka dari itu kita harus menghormati dan menghargai pilihan kedua orang tua kita.
Tetapi, pada bagian terakhir terdapat kalimat “Saudara sayang sekali. Semua ini tak pernah terjadi” yang menyiratkan bahwa semua kejadian yang ada di dalam cerpen tersebut tidak terjadi atau hanya khayalan belaka, karena tidak mungkin pada tahun 1979 seorang anak gadis Minang yang belum menikah dibiarkan saja pergi merantau ke Kota tanpa ada keluarga yang mendampingi. Dalam adat Minang Kabau, hal itu tidak diperbolehkan anak perempuan yang mash gadis untuk tinggal sendiri, serta membiayai kehidupan keluarganya atau dijadikan tulang punggung keluarga. Mungkin, narator mencoba mengingatkan para pembaca untuk tidak melupakan adat istiadat Minang Kabau. Dari hal ini dapat dipetik amanat, yaitu lestarikanlah adat istiadat dan budaya daerah setempat, janganlah melupakan kebudayaan dan adat istiadat daerah setempat, terutama adat Minang Kabau.
Atmazaki. 2005. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang. Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Esten, Mursal. 1993. Kesusatraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung. Angkasa.
Fadli. 2016. Jenis Cerpen. (online) (http://ilmukata.com/jenis-cerpen/) (diakses 05-11-2016).
Gorys, Keraf. 2007. Diksi Gaya Bahasa. Jakarta. PT Gramedia.
Lubis, Mocthar. 1996. Sastra dan Tekhniknya. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Muhardi dan Hasanuddin. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. Padang. IKIP Padang Press.
Syafi’i. 1988. Retorika dalam Menulis. Jakarta. Diejen Pendidikan Tinggi, Depdiknas.
Tarigan, Henry Guntur. 2000. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung. Angkasa.