Hai Sahabat! Assalmualaikum, pada kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang Utang-Piutang dan juga Sewa-Menyewa dalam Islam. Pada pembahasan kali ini terdapat beberapa bagain yang dibahas yaitu, Pengertian Utang-Piutang, Pengertian Sewa-Menyewa, Rukun Utang-Piutang, Syarat dan Rukun Sewa-Menyewa. Mari simak dengan seksama penjelasannya di bawah ini!
UTANG-PIUTANG DAN SEWA MENYEWA DALAM ISLAM
UTANG-PIUTANG
A. Pengertian Utang-piutang
Utang-piutang adalah suatu kegiatan untuk menyerahkan harta dan benda kepada seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian dan juga pada waktu yang telah disepakati antara peminjam dan pemberi hutang dan ditetapkan sebagai batas pengembalian. Pegembalian uang dilakukan dengan tidak mengubah keadaan sepert pada saat orang tersebut meminjam. Contohnya berutang Rp. 100.000,00 di kemudian hari harus melunasinya dengan angka pengembalian yang sama yaitu, Rp. 100.000,00 juga tidak boleh kurang atau pun lebih. Memberikan utang kepada seseorang itu sama dengan kita menolongnya dan hal itu termasuk sangat dianjurkan oleh agama, karena kita sebagai umat islam haruslah saling tolong menolong antara satu dan juga yang lainnya.
B. Rukun Utang-piutang
Rukun utang-piutang terbagi menjadi tiga yaitu, sebagai berikut.
- Dipastikan ada yang berpiutang dan yang berutang
- Ada harta atau barang yang akan diutangkan.
- Lafadz kesepakatan atau ijab qobul. contohnya, Saya berikan ini kepadamu sebagai utang. Yang akan berutang lalu menjawab, Ya, saya utang dulu untuk itu, dan beberapa hari lagi (sebutkan dengan jelas dan tepat sesuai dengan kesepakatan) atau jika sudah punya akan dengan segera saya lunasi. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti keributan di kemudian hari, Allah Swt. Memerintahkan atau menyarankan agar proses utang piutang kita senantiasa dicatat dengan baik utang-piutang yang kita lakukan. Apabila seseorang yang berutang ada masalah dalam pengembalian atau tidak dapat melunasi utang tersebut dengan tepat pada waktunya karena kesulitan atau belum mendapatkan barang atau harta yang akan dibayarkan, Allah Swt. Menganjurkannya harus memberikannya suatu kelonggaran.
Artinya: Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.. (Q.S. al-Baqarah/2: 280)
Jika seseorang yang berutang membayar utangnya dengan memberikan suatu kelebihan atas kemauannya sendiri dan sebagai rasa terimakasih untuk yang berpiutang tanpa perjanjian sebelumnya, maka kelebihan tersebut halal didapatkan dan tidak termasuk riba bagi yang berpiutang, dan hal itu merupakan suatu kebaikan bagi yang berutang. Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya sebaik-baik kamu, ialah yang sebaik-baiknya ketika membayar utang. (sepakat ahli hadis).
Abu Hurairah ra. berkata. Rasulullah saw. telah berutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih besar dari hewan yang beliau utang itu, dan Rasulullah saw. bersabda,
Orang yang paling baik di antara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik. (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya, hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab termasuk riba. Rasulullah saw. berkata Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat maka ia semacam dari beberapa macam ribā. (HR. Baihaqi)
SEWA-MENYEWA
A. Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut juga dengan nama ijārah, yang berarti suatu imbalan yang harus diterima oleh seseorang atas jasa yang telah diberikannya kepada seseorang. Jasa yang dimaksud di sini adalah jasa yang berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijārah dalam firman Allah Swt.:
Artinya: ...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.. (Q.S. al-Baqarah/2: 233)
Artinya: ...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka...(Q.S. aṭ-Ṭalāq/65: 6)
B. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa
- Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan juga berakal sehat.
- Sewa-menyewa dilaksanakan atas kemauan masing-masing, bukan karena keterpaksaan suatu pihak-pihak tertentu.
- Barang tersebut atau barang yang disewakan tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya.
- Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
- Manfaat yang akan penyewa ambil dari barang yang disewakan tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak yang ijarah atau terkait sewa menyewa ini . Contohnya, ada orang akan menyewa sebuah ruko atau bangunan toko. Seorang penyewa haruslah dengan sebaik baiknya dan juga dengan sangat jelas untuk menerangkan segala jenis kegiatan yang akan dimanfaatkan oleh penyewa ruko tersebut kepada pihak yang menyewakan, apakah ruko tersebut akan ditempati untuk suatu usaha atau dijadikan gudang. Dengan begitu, seorang pemilik rumah akan mempertimbangkan boleh atau tidak untuk disewakan. Sebab risiko kerusakan rumah atau ruko tersebut antara dipakai sebagai tempat tinggal berbeda dengan risiko dipakai sebagai Gudang atau sebagai usaha. Demikian juga jika barang yang disewakan itu berupa kendaraan, harus dijelaskan dipergunakan untuk apa saja oleh seorang penyewa terhadap yang menyewakan.
- Berapa lama akan memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan baik dan jelas.
- Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan baik dan jelas serta disepakati Bersama anatara kedua belah pihak.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah diketahui secara jelas dan disepakati Bersama antara kedua belah pihak sebelumnya hal-hal berikut.
- Jenis pekerjaan dan jam bekerjanya.
- Berapa lama ditetapkan masa kerja.
- Berapa penghasilan atau gaji dan bagaimana sistem pembayarannya: harian, bulanan, mingguan, atau merupakan pekerjaan borongan.
- Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain sebgainya, jika ada.